Menciptakan Pedih

Lupa menjejakkan kaki di tanah, aku membiarkan air mata menikmati keberadaannya, membiarkannya bertamu tanpa diundang. Sejak kapan ada tamu datang harus meminta ijin bukan?

Kalo ada tamu datang pake ijin itu namanya lagi kondangan

Seminggu ini berlindung dibalik alasan “PMS”, kubiarkan hormon merajalela menggerogoti hati hingga pikiran. Bagus saja tidak menggigiti iman hingga hancur tak bersisa. Merusak semua bahagia yang tidak sempat kubagikan pada semua orang. Mungkin ini yang dinamakan melemah pada hakekat? Atau memang sudah seharusnya tidak berkeras keluar dari jaringan utama diri?

Jangan coba berani tanya ada apa, seperti sudah kuberi tahu, ini semua terjadi hanya mencoba melemahkan benteng keyakinan yang sebelumnya teramat tinggi di bangun. Bertahun, mungkin, kubiarkan berdiri semakin tinggi, semakin tak ada yang bisa mengintip isi di dalamnya. Semakin tidak ada yang berani mengetok untuk menawarkan bantuan atau hanya sekedar pelukan. Tidak, benteng itu terlalu angkuh untuk bisa menerima keberadaan makhluk lain untuk datang mampir.

Tapi seminggu ini, kulihat ada bolong kecil yang kemudian hidup di daerah yang sudah tak bisa lagi kutambal terus. Luka kecil yang memang tidak pernah bisa kuhentikan sakitnya, meski sudah beragam rupa kain ikhlas kugunakan untuk mencoba merawat lukanya. Luka itu hidup, memakan perhatian, minum dari cairan pikiran, dan berkembang besar hingga aku lupa bagaimana cara menghentikan. Mencoba mengingat pesan-pesan orang bijak tapi semuanya lenyap.

Di pagi buta ini, aku menulis bukan untuk minta dikasihani, tapi untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa aku tak sekuat itu. Aku tidak seperkasa itu untuk berdiri lagi. Aku membutuhkan aku yang dulu, yang pernah tersenyum lepas, tertawa bahagia.

Aku yang waktu itu belum genap 23.

Leave a comment