Februari ini penonton Indonesia disuguhkan satu tayangan bergenre drama, bukannya film semi bokep horor, berjudul #RepublikTwitter di bioskop-bioskop kesayangan. Awalnya saya pikir film ini akan menampilkan sisi cerita yang sama dengan The Social Network, yang mengisahkan tentang Facebook, tetapi #RepublikTwitter akan menampilkan sisi pengguna twitter.
Sepulang kuliah, saya mampir ke XXI di Gandaria City, datang dengan ekpektasi mendapat hiburan dan tersindir sebagai pengguna twitter aktif lewat film ini. Ternyata ekpektasi saya terhadap film ini berlebihan, entah kecewa dengan jalan cerita di film atau justru kecewa dengan akting para pemain yang jelas-jelas pemain lama.
#RepublikTwitter berkisah tentang Sukmo (Abimanya Arya) yang jatuh cinta pada seorang jurnalis ibukota, Hanum (Laura Basuki) yang dikenal lewat twitter. Berangkat dari Jogja, Sukmo hendak mengejar mimpinya untuk pujaan hatinya itu, mengejar komitmen itu yang terus ditegaskan. Berbekal uang sekedarnya, ia pergi ke Jakarta dengan mobil pribadi milik sahabatnya Andre (Ben Kasyafani). Setelah berjanjian di suatu kafe, Sukmo tiba-tiba menjadi tidak percaya diri karena ternyata Hanum adalah tipikal perempuan ibukota yangclassy,ditambah lagi dihadapan Hanum pun muncul Gerry yang bergaya seperti orang kantoran. Sukmo semakin minder dan memutuskan untuk meninggalkan kafe, membatalkan pertemuan. Di saat Sukmo sedang mencari lagi kepercayaan dirinya yang menghilang, dia mendapatkan pekerjaan sebagai “konsultan komunikasi” dari seorang kawan yang dikenalnya juga dari twitter, Bang Belo (Edi Oglek).
Mulai dari sesi ini perhatian penonton akan dialihkan dari kisah cinta Sukmo terhadap Hanum, menjadi konflik yang terjadi selama Sukmo bekerja. Tugasnya sebagai konsultan komunikasi adalah menjadikan seorang Arif Cahyadi (Leroy Osmani) menjadi trending topic di twitter. “Bisnis” ini dibiayai langsung oleh Kemal (Tio Pakusadewo), yang entah mengapa ngotot sekali ingin menjadikan Arif Cahyadi menjadi terkenal dan kemudian mencalonkan diri menjadi gubernur DKI pada pemilihan kepala daerah.
Di sisi lain, Hanum juga terjebak pada pekerjaan yang terus menerus menjadikannya “anak bawang” tanpa bisa memberikan berita yang meledak dan menjadi “headline” di majalah Lini Masa. Bahkan ide berita yang berhasil dia kembangkan dicuri oleh atasannya. Berkat Sukmo, Hanum mendapat berita “panas” dan menjadikan namanya menanjak.
Pada film ini, fokus penyampaian cerita terbagi dua, kisah cinta Sukmo dan Hanum, dan kisah politik Kemal dan Arif Cahyadi. Kedua cerita disampaikan terlalu biasa, tidak ada hal yang wah. Dialog-dialog yang diharapkan menarik cenderung dangkal. Pemakaian kata yang sering muncul di twitter seperti “pencitraan” “Eeeaaa”, “Lo Gue End”, “kode’ dihadirkan dengan garing. Sepanjang waktu sejam lebih saya tidak mendapat momen untuk tertawa atau sekedar berkata “aaah, gue banget nih” mengingat saya termasuk pengguna twitter aktif. Tidak ada sindiran cerdas yang mengena atau membuat saya tertegun. Seperti yang saya selalu bilang ke teman-teman yang bertanya “Gimana filmnya, Li?” saya akan tetap menjawab “Terlalu ringan, bahkan sangat ringan tanpa ada pesan penting atau sekedar hiburan. Keluar dari bioskop jangankan mendapat “pelajaran” mendapat hiburan saja tidak”. Kemasan yang ditawarkan oleh sang sutradara Kutz Agus tidak tegas dan seperti kurang dalamnya pencarian informasi tentang fenomena yang bisa diangkat dari twitter.
Jadi, dari judul yang saya tulis di atas, #RepublikTwitter ternyata bukan film tentang pembentukan negara baru, dan juga bukan film yang penuh sindiran untuk para penceloteh di twitter. Sebagai penikmat film saya hanya bisa memberikan 2 dari 5 bintang.