Tuhan merestui kita

Istriku, Nandita.

Masih ingatkah kamu pertemuan pertama kita di Gereja dua tahun lalu? Saat itu aku sedang melayani kebaktian seperti biasanya, sebagai pemain gitar. Kamu datang entah dengan siapa, belakangan kutahu kamu bersama Rossa dan Lindy. Sore itu seperti biasanya aku dengan kemeja hitam dan dasi biru tua favoritku, dan kamu dengan gaun pendek sederhana berwarna biru. Itu juga aku diberi tahu Jimmy. Kamu yang duduk di deret kelima, kurasa menikmati lantunan pujian dan penyembahan.

Selepas kebaktian sore itu, kamu yang terlebih dahulu menghampiriku. Jimmy berbisik di telingaku bahwa kamu ingin menemuiku. Aku merasakan kamu duduk di depanku, menyalamiku dan berkata lembut, “Peter, terima kasih sudah melayani ibadah Minggu hari ini. Permainan gitarmu membuatku merasakan hadirat Tuhan. Aku merasakan Roh Kudus menyentuh hatiku. Aku hanya ingin berterima kasih untuk ini.” Aku hanya tersenyum, membalas kamu yang sedang tersenyum. Sepertinya sih kamu tersenyum setelah berkata itu, aku tidak pernah tahu. Aku tak banyak berkata, hanya mendengarkan kamu berbicara dengan suara lembut.

Setelahnya kamu selalu datang setiap minggu, dan selalu menemuiku setelahnya. Tak jarang kita berbincang sampai malam tiba. Kamu jadi sering mengantarkan aku pulang, menggantikan tugas Jimmy. Tidak banyak yang kutahu tentang kamu, hanya mendengar selentingan berita dari teman-teman pelayan gereja saja. Ada yang bilang kamu cantik sekali, rupamu bagai bidadari. Ada yang bilang kamu itu selebritis ibukota. Ada yang bilang juga kamu itu pernah jadi model internasional. Semua itu aku hanya mendengar, tanpa melihat rupa. Sampai akhirnya tak sengaja aku menonton berita, oh baiklah aku mendengar berita, di televisi. Kata suara yang terdengar kamu akan menjadi bintang tamu hari itu. Acaranya Satu Jam Bersama. Aku menunggu kamu muncul kemudian, kudengarkan si pembawa acara mengajukan banyak pertanyaan. Dan kamu menjawabnya dengan suara lembut, sama seperti yang kudengar setiap hari Minggu. Tak ada intonasi menggurui bahkan nada yang terkesan berlebihan. Dari acara itu aku baru yakin bahwa kamu memang seorang selebrita, mantan model internasional, dan sekarang sibuk menjadi model lokal.

Dua tahun pertemanan kita, semua berubah tiba-tiba. Kamu yang lebih dulu mengungkapkan cinta. Bukan, bukan karena aku lelaki pengecut tak miliki harga diri. Tapi apalah aku dihadapanmu? Aku tahu kekuranganku, aku tahu tak mungkin bisa aku memberikan harta berlimpah atau menjanjikan dunia. Melihat rupamu pun aku tak bisa, masa iya kujanjikan kamu pelangi? Aku hanya lelaki buta yang mendapatkan uang sekedarnya dari bermusik. Aku hanya lelaki buta yang diberi Tuhan talenta bermain gitar. Lebih dari itu aku bukan siapa-siapa.

Kamu bilang itu bukan perkara. Aku bilang itu sebuah harga. Kamu bilang tak peduli itu semua. Aku bilang itu akan jadi sandungan nantinya. Kita bertengkar hebat.

Tuhan merestui kita. Berbagai pengertian sudah kuperdengarkan, dan kita berkeputusan. Tuhan terlalu baik untukku. Diberi-Nya bidadari sempurna sebagai pendamping hidupku. Bidadari yang mencintai lelaki buta yang hanya mampu menciptakan nada-nada sederhana. Cintamu yang menguatkan aku, yang bahkan tak pernah bermimpi untuk mendapatkan istri.

Dan kemarin kamu bilang sudah hamil 2 bulan?

Nandita, istriku,

terima kasih untuk cintamu. Terima kasih untuk pengertianmu. Tuhan memberkatiku dan mencintaimu.

Peter

 

 

PS: Maaf, kuminta tolong Jimmy untuk menuliskan ini. Sesekali aku ingin mengirimu surat. Kalau sudah selesai baca, temui aku dengan membawa secangkir es susu coklat. Aku di ruang baca.

Leave a comment